==================================
DIKISAHKAN bahwa saat menjelang waktu berbuka puasa, Imam
Malik Bin Anas menangis tersedu-sedu. Para muridnya keheranan dengan apa yang
dilakukan oleh gurunya itu.
Kemudian mereka bertanya, “Wahai Guru, kenapa anda menangis
tersedu-sedu?”
“Aku malu kepada Rasulullah ï·º Beliau adalah manusia terbaik
yang menu berbuka puasanya hanya sedikit namun amalnya begitu banyak. Sedangkan
aku adalah manusia yang hidangan berbuka puasanya sangat banyak namun amalku
hanya sedikit.”
Tentu kisah nyata tersebut bukan menggambarkan sosok Imam
Malik sebagai orang yang doyan makan atau yang semisalnya.
Justru kisah itu menggambarkan betapa tawadhu’ dan kuatnya
ikatan emosional beliau dengan sang manusia terbaik, Rasulullah ï·º.
Imam Malik selama hidupnya dikisahkan tidak pernah mau buang
hajat di wilayah kota Madinah karena demi menghormati jasad Nabi Muhammad ï·º
dikebumikan di Bumi Madinah. Beliau rela keluar Kota Madinah jika tuntutan
buang hajat itu datang.
Bahkan beliau dikisahkan juga tidak pernah mau menaiki kuda
atau kendaraan lainnya juga tidak pernah memakai sandal jika sudah berada di
Madinah.
Lagi-lagi hal itu beliau lakukan karena rasa hormat, cinta
dan takdhim kepada Rasulullah ï·º.
Hari ini kita banyak saksikan contoh yang begitu berlawanan
dengan apa yang dilakukan oleh Imam Malik.
Jangankan mencontoh ketakdiman Imam Malik yang agak berat
tersebut, untuk meniru cara berbuka puasa sajanya nampaknya kita masih
kesulitan.
Imam Malik menangis karena malu kepada Nabi Muhammad ï·º.
Orang tak akan punya rasa malu manakala mereka tidak memiliki “cermin” untuk
berkaca diri.
Sebaik-baik cermin adalah perihidup para kaum salaf solihin.
Dan yang terbaik tentu saja bercermin kepada perihidup Rasulullah ï·º sang cermin
para kaum salafu sholeh.
Namun hari ini kita seolah kehilangan cermin. Atau bahkan
mungkin salah memasang cermin.
Yang kita jadikan cermin bukan Rasulullah ï·º dan para salaf
sholeh namun para publik figur bentukan media. Kebanyakan orang tidak memahami
adab dan ilmu melainkan hanya bermodal popularitas dan pengaruh di dunia media
sosial.
Hingga apapun gaya hidup mereka kini kita tiru. Mulai cara
ngabuburit hingga cara berbukanya kita jadikan kiblat. Di saat wabah pandemi
yang makin memiskinkan rakyat tentu kita dituntut memiliki empati kepada
sesama.
Apatah lagi di bulan Ramadhan yang memiliki misi edukasi
berupa empati dan simpati sosial. Dan salah satu bentuk empati sederhana adalah
berbuka puasa secara beradab.
Jika kita kesulitan untuk meniru kesederhanaan Rasulullah ï·º
dalam ihwal menu berbuka puasa yang hanya berupa air putih dan kurma saja,
setidaknya ada adab yang masih bisa kita lakukan.
Berbagai menu berbuka yang variarif yang tersaji di meja
makan baiknya dinikmati secara pribadi bersama keluarga saja.
Jangan lantas memfotonya dan membaginya di ruang publik
media sosial demi berempati kepada mereka yang mungkin tak bisa menikmati
hidangan berbuka puasa karena berbagai alasan yang menyertainya.
Ada satu wasiat penting dari Rasulullah ï·º yang patut kita
renungi di zaman ini. Rasulullah ï·º pernah berwasiat kepada sahabatnya, “Wahai
Abu Dzar ! Jika kamu masak sayur, maka perbanyaklah kuahnya dan perhatikanlah
tetanggamu.” (HR. Muslim)
Dan hadis yang serupa yang menyatakan, “Janganlah kamu
menyakiti tetanggamu dengan bau masakan kuah yang direbus di dalam periukmu,
kecuali kamu memberi kuah kepada tetanggamu sekedarnya.”
Di era media sosial ini tentu yang bisa “mengendus” bau
hidangan kita bukan hanya tetangga dalam lingkup sekampung namun seluruh dunia
karena kita sudah hidup di zaman digital tanpa sekat fisik geografis.
Dan bagi kalangan yang kesulitan berbuka puasa, tentu
unggahan foto atau video menu berbuka puasa lebih “menyakitkan” hati daripada
sekedar bau masakan. Sebab unggahan itu lebih nyata dan lebih menggugah selera
daripada sekedar bau masakan.
Maka menjadi manusia yang adil dan beradab tidak melulu
lewat tindakan yang besar. Bahkan lewat cara sederhana semisal berbuka puasa
pun kita bisa menerapkannya. Karena termasuk dikatakan adil manakala kita mampu
menempatkan hak dari sesuatu sesuai kapasitas dan tempat yang layak bagi
sesuatu itu.
Di saat pandemi wabah yang makin menyulitkan beban hidup rakyat
itu kita harus bisa adil dalam menempatkan sikap dan laku kita.
Jaga empati dan simpati kepada sesama semisal dengan tidak
melakukan swafoto hidangan berbuka kita adalah salah satu bentuk kita bisa
berbuat adil karena mampu membaca keadaan zaman.
Mari jadikan Ramadhan ini sebagai madrasah perubah diri agar
bisa menjadi insan yang beradab. Wallahu A’lam Bis Showab.*