Jumat, 08 Mei 2020

Berbeda,Tidak Harus Sama


Mereka Berbeda, Maka Tidak Harus Sama!




Oleh: Asri Wulantini
Tidaklah membanggakan, jika anak berprestasi di sekolah, tapi tidak punya etika 
“Ayah, mbak ingin main game! Boleh pinjam hand phonenya?” rajuk si sulung.
“Ayah, abang mau main keluar, ya!” ijin si tengah.
“Ayah, adek maunonton Syamil di laptop, ya?” pinta si kakak.

Ketiga buah hati kompak melancarkan rayuan pada sang Ayah yang barupulang dari kantor. Sementara si kecil yang belum bisa bicara lancer turut bergelayut manja. Ayah tersenyum, sudah sangat hapal kebiasaan mereka saat menyambutnya pulang. Dengan santai, Ayah menyahut, “Silahkan bilang pada Bunda, ya!”

Kami, memang sudah membuat kesepakatan bersama. Jadwal mereka main di luar, main game dan menonton diatur oleh Bunda. Saya lah yang mempunyai kewenangan memberikan mereka ijin

Mungkin, terkesan otoriter. Tapi begitulah kesepakatan yang telah dibuat. Kami harus menjalankan kesepakatan itu dengan konsisten. Sebab, jika tidak konsisten maka segala aturan yang sudah ada dan berjalan akan mandeg. Anak-anak akan merasa keputusan Ayah-Bunda lemah dan seperti main-main. Akibatnya, anak-anak akan cenderung meremehkan orangtua.

Saya, selaku Bunda memiliki tanggung jawab langsung terhadap mereka. Tapi, bukan berarti saya adalah penanggungjawab pertama. Saya bertanggungjawab langsung karena memang sayalah yang paling banyak meluangkan waktu bersama mereka. Karena itu pulalah kami sepakat,  bahwa saya adalah yang pertama menentukan segala sesuatu untuk mereka. Sayalah yang menentukan tingkah laku mereka.

Menurut saya, pendidikan untuk anak-anak harus bermula dari rumah. Tidaklah membanggakan, jika anak berprestasi di sekolah, tapi tidak punya etika. 

Dan, pendidikan etika tentulah harus di mulai dari rumah. Sedari dini anak-anak harus ditanamkan karakter dasar tentang empati dan simpati. Sehingga mereka dapat tumbuh menjadi pribadi yang penuh cinta kasih. Merekabisamenjadipribadi yang unggul, tidak hanya dalam prestasiak ademik, namun juga akhlak mulia.

Saya dan suami senantiasa menebarkan kasih sayang di dalam rumah. Tanpa kasih sayang, mustahil anak-anak dapat tumbuh dengan baik.

Kami berusaha saling melengkapi dan mengimbangi. Saya cenderung cerewet dan sukangomel. Sebaliknya, suami lebih tenang dan nyantai. Namun, kami tetap konsisten dengan aturan yang ada. Ngomel dan nyantai bukan berarti member celah bagi kami untuk melanggar aturan.

Kami memiliki empatanak yang berbedakarakter. Ada yang melankolis, ada yang atraktif, ada yang cuek bebek, ada juga yang sangat terstruktur. Maka, kami pun mendidik sesuai dengan karakter mereka. Bagi kami, tidak semua pola pendidikan bisa diberikan pada semua orang.  

Apalagi yang berkaitan dengan hukuman. Sebagian anak mungkin cukup ditegur dengan mata sebagai kode kesalahan. Tapi sebagian yang lain mungkin harus ditegur dengan kata-kata. Bahkan sebagian juga ada yang harus di beri peringatan secara fisik. Karena itulah, saya selaku Bunda perlu memahami mereka lebih dekat, setiap hari setiap saat.

Anak-anak kami tidak hanya berbeda secara karakter. Mereka pun berbeda secara kemampuan individu. Tapi bagi kami, mereka semua istimewa. Setiap diri mereka punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kami berusaha menggali kelebihan mereka sedalam mungkin. Demikian pula dengan kelemahan mereka. Kami berusaha mengurangi kelemahan yang ada.

Pernah suatu ketika, salah satu anak kami menangis tersedu. Ia merasa lemah dan kalah. Ia merasa tak sehebat saudaranya yang sudah punya beberapa piala. Padahal ia telah berusaha keras dengan mengikuti berbagai lomba. Namun, ia kecewa sebab tak pernah juara. 

Ia pun merasa putus asa. Hingga sebuah kata terucap, “Ah, ngapain ikut lomba lagi. Toh aku tidak akan juara!”

Ketika mendengar kalimat itu terucap olehnya, perasaan saya campur aduk. Saya merasa bersalah, sedih sekaligus takut. Saya merasa bersalah tak dapat membantunya untuk menang. Saya merasa sedih melihatnya menangis tersedu. Dan, saya merasa takut tak mampu membuatnya percaya diri.

Akhirnya, saya mulai mencari cara. Saya menceritakan kisah-kisah para sahabat dan sahabiyah yang pantang menyerah. Saya ceritakan kisah para penemu dunia yang sukses berawal dari kegagalan. 

Saya pun menceritakan tentang masa kecil yang tak jauh berbeda dengannya. Saya sengaja membeli banyak buku motivasi yang dikemas dalam cerita anak. Saya kobarkan terus semangatnya untuk berusaha menggali potensi diri. Saya tanamkan padanya, juga pada saudaranya yang lain, bahwa menjadi juara tidak selalu perlu sebuah piala. Bahwa, seorang pemenang tidak harus membawa hadiah.

Karena sejatinya, berani berkompetisi sehat itu sudah menjadi pemenang sejati. Anak-anak memang selalunya perlu proses untuk belajar.

Sama halnya dengan anak-anak, saya dan suami selaku orangtua tentu harus terus belajar. Memperbaiki setiap kesalahan menjadi kebenaran. Membuat setiap kelemahan menjadi kekuatan. Mengurangi setiap kegagalan menjadi kesuksesan. Terkadang justru, kami belajar banyak hal dari mereka. Kami belajar mengendalikan amarah. 

Belajar mendisiplinkan diri. Belajar memaafkan dan meminta maaf. Satu poin terpenting adalah sebuah niat untuk menjadi lebih baik dan terbaik. Mendidik mereka dengan ketulusan hati.*


0 komentar:

Posting Komentar