Mereka Berbeda, Maka Tidak Harus Sama!
Oleh: Asri Wulantini
Tidaklah membanggakan, jika anak berprestasi di sekolah,
tapi tidak punya etika
“Ayah, mbak ingin main game! Boleh pinjam hand phonenya?”
rajuk si sulung.
“Ayah, abang mau main keluar, ya!” ijin si tengah.
“Ayah, adek maunonton Syamil di laptop, ya?” pinta si kakak.
Ketiga buah hati kompak melancarkan rayuan pada sang Ayah
yang barupulang dari kantor. Sementara si kecil yang belum bisa bicara lancer
turut bergelayut manja. Ayah tersenyum, sudah sangat hapal kebiasaan mereka
saat menyambutnya pulang. Dengan santai, Ayah menyahut, “Silahkan bilang
pada Bunda, ya!”
Kami, memang sudah membuat kesepakatan bersama. Jadwal
mereka main di luar, main game dan menonton diatur oleh Bunda. Saya
lah yang mempunyai kewenangan memberikan mereka ijin
Mungkin, terkesan
otoriter. Tapi begitulah kesepakatan yang telah dibuat. Kami harus menjalankan
kesepakatan itu dengan konsisten. Sebab, jika tidak konsisten maka segala
aturan yang sudah ada dan berjalan akan mandeg. Anak-anak akan merasa
keputusan Ayah-Bunda lemah dan seperti main-main. Akibatnya, anak-anak akan
cenderung meremehkan orangtua.
Saya, selaku Bunda memiliki tanggung jawab langsung terhadap
mereka. Tapi, bukan berarti saya adalah penanggungjawab pertama. Saya
bertanggungjawab langsung karena memang sayalah yang paling banyak meluangkan
waktu bersama mereka. Karena itu pulalah kami sepakat, bahwa saya adalah
yang pertama menentukan segala sesuatu untuk mereka. Sayalah yang menentukan
tingkah laku mereka.
Menurut saya, pendidikan untuk anak-anak harus bermula dari
rumah. Tidaklah membanggakan, jika anak berprestasi di sekolah, tapi tidak
punya etika.
Dan, pendidikan etika tentulah harus di mulai dari rumah. Sedari
dini anak-anak harus ditanamkan karakter dasar tentang empati dan simpati.
Sehingga mereka dapat tumbuh menjadi pribadi yang penuh cinta kasih.
Merekabisamenjadipribadi yang unggul, tidak hanya dalam prestasiak ademik,
namun juga akhlak mulia.
Saya dan suami senantiasa menebarkan kasih sayang di dalam
rumah. Tanpa kasih sayang, mustahil anak-anak dapat tumbuh dengan baik.
Kami berusaha saling melengkapi dan mengimbangi. Saya
cenderung cerewet dan sukangomel. Sebaliknya, suami lebih tenang dan nyantai.
Namun, kami tetap konsisten dengan aturan yang ada. Ngomel dan nyantai bukan
berarti member celah bagi kami untuk melanggar aturan.
Kami memiliki empatanak yang berbedakarakter. Ada yang melankolis,
ada yang atraktif, ada yang cuek bebek, ada juga yang sangat terstruktur.
Maka, kami pun mendidik sesuai dengan karakter mereka. Bagi kami, tidak semua
pola pendidikan bisa diberikan pada semua orang.
Apalagi yang berkaitan
dengan hukuman. Sebagian anak mungkin cukup ditegur dengan mata sebagai kode
kesalahan. Tapi sebagian yang lain mungkin harus ditegur dengan kata-kata.
Bahkan sebagian juga ada yang harus di beri peringatan secara fisik. Karena
itulah, saya selaku Bunda perlu memahami mereka lebih dekat, setiap hari setiap
saat.
Anak-anak kami tidak hanya berbeda secara karakter. Mereka
pun berbeda secara kemampuan individu. Tapi bagi kami, mereka semua istimewa.
Setiap diri mereka punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kami berusaha
menggali kelebihan mereka sedalam mungkin. Demikian pula dengan kelemahan
mereka. Kami berusaha mengurangi kelemahan yang ada.
Pernah suatu ketika, salah satu anak kami menangis tersedu.
Ia merasa lemah dan kalah. Ia merasa tak sehebat saudaranya yang sudah punya
beberapa piala. Padahal ia telah berusaha keras dengan mengikuti berbagai
lomba. Namun, ia kecewa sebab tak pernah juara.
Ia pun merasa putus asa. Hingga
sebuah kata terucap, “Ah, ngapain ikut lomba lagi. Toh aku tidak akan juara!”
Ketika mendengar kalimat itu terucap olehnya, perasaan saya
campur aduk. Saya merasa bersalah, sedih sekaligus takut. Saya merasa bersalah
tak dapat membantunya untuk menang. Saya merasa sedih melihatnya menangis
tersedu. Dan, saya merasa takut tak mampu membuatnya percaya diri.
Akhirnya, saya mulai mencari cara. Saya menceritakan
kisah-kisah para sahabat dan sahabiyah yang pantang menyerah. Saya
ceritakan kisah para penemu dunia yang sukses berawal dari kegagalan.
Saya pun
menceritakan tentang masa kecil yang tak jauh berbeda dengannya. Saya sengaja
membeli banyak buku motivasi yang dikemas dalam cerita anak. Saya kobarkan
terus semangatnya untuk berusaha menggali potensi diri. Saya tanamkan padanya,
juga pada saudaranya yang lain, bahwa menjadi juara tidak selalu perlu sebuah
piala. Bahwa, seorang pemenang tidak harus membawa hadiah.
Karena sejatinya, berani berkompetisi sehat itu sudah
menjadi pemenang sejati. Anak-anak memang selalunya perlu proses untuk belajar.
Sama halnya dengan anak-anak, saya dan suami selaku orangtua
tentu harus terus belajar. Memperbaiki setiap kesalahan menjadi kebenaran.
Membuat setiap kelemahan menjadi kekuatan. Mengurangi setiap kegagalan menjadi
kesuksesan. Terkadang justru, kami belajar banyak hal dari mereka. Kami belajar
mengendalikan amarah.
Belajar mendisiplinkan diri. Belajar memaafkan dan
meminta maaf. Satu poin terpenting adalah sebuah niat untuk menjadi
lebih baik dan terbaik. Mendidik mereka dengan ketulusan hati.*
0 komentar:
Posting Komentar