Berilmu = Takut pada Allah
ORANG berilmu dan tidak berilmu itu berbeda. Keduanya
tidak sama. Antara orang yang mengetahui dan tidak mengetahui. Itu sudah pasti.
Secara ketetapan teori ataupun realitas dalam kehidupan sehari-hari.
Orang yang tahu dan mengerti dianggap bisa mengerjakan
sesuatu dengan baik dan benar. Sedangkan orang yang tidak tahu jika bekerja
biasanya akan asal-asalan. Paling tidak hasil kerjanya kadang tidak sesuai
dengan yang diharapkan.
Firman Allah: “Apakah sama antara orang yang berilmu
dengan orang yang tidak berilmu? Sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang
bisa mengambil pelajaran.” (QS. Az-Zumar [39]: 9). Dalam ayat lain, “Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama,” (QS.
Al-Fathir [35]: 28).
Mukjizatnya, al-Qur’an menyebut perbedaan itu dengan uslub istifham
inkari (redaksinya bertanya tapi sesungguhnya mengingkari). Apakah
keduanya sama? Ya jelas tidak. Itu tak mungkin sama. Barangkali begitu nada dan
kalimat ayat tersebut jika diterjemahkan kembali. Bagi orang beriman, sekadar
berbeda rupanya belum cukup. Sebab masalahnya bukan asal tidak sama. Lalu
selesai begitu saja.
Tapi bagaimana perbedaan itu sesungguhnya? Kalau sudah
berilmu, apa setelahnya? Paling utama tentu saja mengembalikan segala sesuatu
yang dipunyai manusia kepada iman. Termasuk ilmu.
Patokan awal ilmu bermanfaat
jika terkait dengan hidayah. Iman itu sumber kebahagiaan. Untuk itu, ilmu yang
menjauhi hidayah hanyalah awal dari bencana. Ilmu tanpa hidayah berarti yang
didapat bukan berkah dan merasa bahagia. Tapi bisa celaka yang berujung
sengsara. Dunia dan Akhirat kelak.
Inilah pentingnya orientasi ilmu. Tak heran para ulama sejak
dulu tak bosan mengingatkan.
Mengulang-ulang kembali terkait niat belajar atau
motivasi menuntut ilmu. Bahwa kewajiban yang digariskan dalam menuntut ilmu
bukan sekadar tanpa tujuan. Perintah bersungguh-sungguh mencari ilmu tak lain
beririsan dengan tujuan hidup itu sendiri. Sebab orientasi ilmu yang benar
hakikatnya sama dengan kewajiban menghambakan diri kepada Sang Pencipta.
Dengan pemahaman di atas, maka orang berilmu seharusnya
menjadi orang-orang yang paling takut ketika disebut nama Tuhannya.
Sebab, dengan ilmu yang dimiliki, mereka adalah kumpulan
manusia yang paling paham hakikat hidup ini. Mereka dianggap sangat mengerti
hukum-hukum agama dan kewajiban menegakkan syariat. Mereka juga berada di garda
terdepan dalam urusan santun dan meninggikan adab ketika bermuamalah kepada
sesama manusia. Serta banyak lagi manfaat positif dari ilmu tersebut.
Orang berilmu berarti punya keyakinan akan ke-MahaKuasa-an
Allah Ta’ala. Imannya menjadi kuat. Ibadahnya lagi terjaga. Allah menjadi
satu-satunya sandaran hidupnya. Bukan lagi bersandar kepada manusia atau
ciptaan lainnya yang biasa dipertuhankan oleh manusia-manusia lalai dan tidak
berilmu. Dengan bersandar keyakinan kepada-Nya, cara pandang orang berilmu
niscaya ikut berubah. Jika orang-orang bekerja hanya untuk dunianya saja. Maka
orang beriman mengejar nasibnya di akhirat melalui kehidupan dunianya saat ini.
Kisah tukang sihir di zaman Fir’aun layak jadi renungan
sebagai penutup. Tatkala akalnya tercelup hidayah iman. Ilmu dan amalnya
seketika berubah. Kalau dulu mereka adalah penyokong segala tindak tanduk dan
ketetapan Fir’aun. Kini sikap itu berubah 180 derajat. Gagah berani
mereka mendeklarasikan keimanan di tengah lapangan terbuka. Tepat di hadapan
wajah Fir’aun.
Tanpa secuil rasa takut sedikitpun. Mereka sadar dan penuh yakin
dengan ucapan tauhid tersebut.
Firman Allah, “Mereka berkata: Tidak masalah,
sesungguhnya kepada Tuhan kamilah, kami akan kembali. Sesungguhnya kami
sudah sangat berharap Allah mengampuni dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan
kami, dan kami betul-betul berharap menjadi orang-orang awal beriman.” (QS.
Asy-Syuara [26]: 50-51).*
0 komentar:
Posting Komentar