Kamis, 07 Mei 2020

Jarimu Bisa Kurangi Kesempurnaan Puasa


Hati-Hati Jarimu Bisa Kurangi Kesempurnaan Puasa



BERTEMU dengan bulan suci Ramadhan dan dapat melaksanakan puasa di tahun ini merupakan anugerah dan nikmat yang tak terhingga. Meskipun perayaan puasa tahun ini tidak semeriah tahun sebelumnya disebabkan penyebaran virus Corona. Namun, kesakralan dan ke khidmatan menikmati bulan suci ini tetaplah sama bagi orang-orang yang beriman. Bahkan harus disikapi dengan etos ibadah dan mujahadah yang lebih tinggi.

Kesempatan ini tentu tidak boleh di sia-siakan oleh kita, karena belum tentu tahun berikutnya dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan yang penuh rahmat dan ampunan. Kehadiran Corona jangan sampai mengecoh kita untuk mengejar gelar ketakwaan yang didambakan oleh setiap orang.

Pastinya setiap kita menginginkan puasa tahun ini adalah puasa yang terbaik. Intensitas amal ibadah kita ditingkatkan, mulai dari sholat lail, sholat dhuha, tadarus Alquran, berinfak dan bersedekah. Dan segala apa yang dapat membatalkan dan mengurangi nilai pahala ibadah puasa kita dijauhi. Satu di antaranya adalah sisi-sisi yang meliputi di tengah derasnya arus komunikasi dan informasi.

Situasi itu, yakni gempuran arus komunikasi dan informasi saat ini atau seperti yang diistilahkan oleh Maureen Malanchuk sebagai info flood (banjir informasi) tidak menutup kemungkinan kita akan terbawa arus informasi yang setiap hari membanjiri dunia pikiran, rasa, bahkan keseharian kita.

Bertebarannya informasi melalui ponsel kita, membuat kebanyakan orang kebingungan dan sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Layaknya orang kebanjiran yang tidak mempunyai kemampuan berenang dan tidak punya pelampung untuk sekedar mengapung di atas kubangan air.

Akibatnya bisa mempengaruhi kesempurnaan ibadah puasa kita, atau bahkan menghanguskan nilai pahala ibadah puasa yang kita jalani selama satu bulan.

Hal ini telah dikabarkan oleh Nabi Muhammad: “Banyak orang yang berpuasa tapi mereka tidak mendapatkan apa-apa melainkan hanya rasa lapar dan haus”. (HR. Bukhari).

Para ulama bersepakat bahwa yang dimaksud dengan “berpuasa namun tidak mendapat apa-apa” adalah berpuasa secara formalitas dan menggugurkan kewajiban saja, yakni tidak makan dan minum dari terbit fajar sampai waktu berbuka. Namun, perilaku menggungjing, bergosip, memfitnah dan berkata jorok tetap dilakukan.

Faktanya, masih banyak diantara kita yang suka menyebarkan informasi yang kebenarannya masih diragukan atau bahkan informasi yang di share merupakan berita hoax (bohong) dan dapat menimbulkan kegaduhan.

Termasuk di dalamnya (mohon maaf) ungkapan-ungkapan cabul, bullying, ujaran kebencian, ghibah, namimah baik melalui tulisan (broadcast), stiker maupun poster masih mewarnai linimasa kita yang mungkin sedang melakukan ibadah puasa.

Padahal, jika kita membaca dan mencermati fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) no 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Orang yang menyebarkan berita benar, namun disampaikan bukan pada tempat dan waktunya hukumnya adalah haram.

Perilaku seperti ini disamping tidak baik, juga dapat merusak dan menghilangkan pahala ibadah puasa kita. Bahkan, dampak lebih besar lagi dapat merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara disebabkan oleh sentuhan jari tangan kita.

Bulan puasa ini marilah kita jadikan sebagai momentum untuk mempuasakan nafsu duniawi, lisan dan jari tangan kita. Agar puasa yang sedang kita jalani saat ini menuju kesempurnaan dan kelak setelah Ramadhan pergi, kita benar-benar meraih gelar takwa.

Cukuplah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai acuan dan panduan bagi kita dan masyarakat pada umumnya dalam bermuamalah melalui media social (medsos).

Bahkan lebih tegas lagi, Rasulullah ﷺ menyebutkan: “Allah sama sekali tidak berkenan kepada usaha menahan rasa lapar dan haus seseorang, apabila dia tidak meninggalkan perkataan bohong, perbuatan nista, dan tindakan kejahilan”. (HR. Muslim).*

0 komentar:

Posting Komentar