Hati-Hati Jarimu Bisa Kurangi Kesempurnaan Puasa
BERTEMU dengan bulan suci Ramadhan dan dapat
melaksanakan puasa di tahun ini merupakan anugerah dan nikmat yang tak
terhingga. Meskipun perayaan puasa tahun ini tidak semeriah tahun sebelumnya
disebabkan penyebaran virus Corona. Namun, kesakralan dan ke khidmatan
menikmati bulan suci ini tetaplah sama bagi orang-orang yang beriman. Bahkan
harus disikapi dengan etos ibadah dan mujahadah yang lebih tinggi.
Kesempatan ini tentu tidak boleh di sia-siakan oleh kita,
karena belum tentu tahun berikutnya dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan
yang penuh rahmat dan ampunan. Kehadiran Corona jangan sampai mengecoh kita
untuk mengejar gelar ketakwaan yang didambakan oleh setiap orang.
Pastinya setiap kita menginginkan puasa tahun ini adalah
puasa yang terbaik. Intensitas amal ibadah kita ditingkatkan, mulai dari sholat
lail, sholat dhuha, tadarus Alquran, berinfak dan bersedekah. Dan segala apa
yang dapat membatalkan dan mengurangi nilai pahala ibadah puasa kita dijauhi.
Satu di antaranya adalah sisi-sisi yang meliputi di tengah derasnya arus
komunikasi dan informasi.
Situasi itu, yakni gempuran arus komunikasi dan informasi
saat ini atau seperti yang diistilahkan oleh Maureen Malanchuk sebagai info
flood (banjir informasi) tidak menutup kemungkinan kita akan terbawa arus
informasi yang setiap hari membanjiri dunia pikiran, rasa, bahkan keseharian
kita.
Bertebarannya informasi melalui ponsel kita, membuat
kebanyakan orang kebingungan dan sulit membedakan mana yang benar dan mana yang
salah. Layaknya orang kebanjiran yang tidak mempunyai kemampuan berenang dan
tidak punya pelampung untuk sekedar mengapung di atas kubangan air.
Akibatnya bisa mempengaruhi kesempurnaan ibadah puasa kita,
atau bahkan menghanguskan nilai pahala ibadah puasa yang kita jalani selama
satu bulan.
Hal ini telah dikabarkan oleh Nabi Muhammad: “Banyak orang
yang berpuasa tapi mereka tidak mendapatkan apa-apa melainkan hanya rasa lapar
dan haus”. (HR. Bukhari).
Para ulama bersepakat bahwa yang dimaksud dengan “berpuasa
namun tidak mendapat apa-apa” adalah berpuasa secara formalitas dan
menggugurkan kewajiban saja, yakni tidak makan dan minum dari terbit fajar
sampai waktu berbuka. Namun, perilaku menggungjing, bergosip, memfitnah dan
berkata jorok tetap dilakukan.
Faktanya, masih banyak diantara kita yang suka menyebarkan
informasi yang kebenarannya masih diragukan atau bahkan informasi yang di share
merupakan berita hoax (bohong) dan dapat menimbulkan kegaduhan.
Termasuk di dalamnya (mohon maaf) ungkapan-ungkapan cabul,
bullying, ujaran kebencian, ghibah, namimah baik melalui tulisan (broadcast),
stiker maupun poster masih mewarnai linimasa kita yang mungkin sedang melakukan
ibadah puasa.
Padahal, jika kita membaca dan mencermati fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) no 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah
Melalui Media Sosial. Orang yang menyebarkan berita benar, namun disampaikan
bukan pada tempat dan waktunya hukumnya adalah haram.
Perilaku seperti ini disamping tidak baik, juga dapat
merusak dan menghilangkan pahala ibadah puasa kita. Bahkan, dampak lebih besar
lagi dapat merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara disebabkan oleh
sentuhan jari tangan kita.
Bulan puasa ini marilah kita jadikan sebagai momentum untuk
mempuasakan nafsu duniawi, lisan dan jari tangan kita. Agar puasa yang sedang
kita jalani saat ini menuju kesempurnaan dan kelak setelah Ramadhan pergi, kita
benar-benar meraih gelar takwa.
Cukuplah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai acuan
dan panduan bagi kita dan masyarakat pada umumnya dalam bermuamalah melalui
media social (medsos).
Bahkan lebih tegas lagi, Rasulullah ﷺ menyebutkan: “Allah
sama sekali tidak berkenan kepada usaha menahan rasa lapar dan haus seseorang,
apabila dia tidak meninggalkan perkataan bohong, perbuatan nista, dan tindakan
kejahilan”. (HR. Muslim).*
0 komentar:
Posting Komentar