Belajar dari Kisah Nabi Yunus & Hijrah Nabi Muhammad
Munajat dari dasar samudera di dalam perut ikan itu ternyata
mampu menggetarkan lapisan langit yang bersusun-susun. KUN fayakun. Jika
Allah berkehendak, maka terjadilah. Inilah kuasa Allah. Peristiwa langka yang
bisa jadi tak akan terulang kedua kalinya.
Ada manusia yang ditelan ikan raksasa. Masuk dalam keadaan
hidup dan keluar juga dalam keadaan yang sama. Ia tetap hidup meski berada di
dalam perut ikan tersebut. Inilah kisah ajaib Dzun Nun, nama lain dari Nabi
Yunus bin Matta (semoga salam dan keselamatan selalu tercurah untuk beliau).
Iya, tak ada yang menyangka. Sebagian umur Nabi Yunus
justru dihabiskan di dalam perut ikan yang menelannya di tengah samudera. Dalam
riwayat, ada yang menyebut ia berdiam selama tiga hari. Ada yang bilang 40
hari. Ada juga yang berkata, Nabi Yunus ditelan di pagi hari dan dimuntahkan di
petang hari.
Secara ilmu pengetahuan dan logika manusia, bisa apa orang
itu di tengah suasana pekat yang berlipat-lipat? Mulai dari gelapnya dasar
samudera, gelapnya “kamar” di perut ikan, hingga gelapnya malam yang ikut
mendera.
Namun demikian teladan dari manusia pilihan yang diutus ke
kaum Asyiria di Ninawa, Irak. Bagi Nabi Yunus, selalu ada cahaya terang yang
benderang. Selalu ada sinar yang berbinar. Selalu ada harapan yang mapan.
Bahwa ilmu yang dimilikinya bukan hanya mengantarnya sebagai
orang yang pandai di tengah kaumnya. Tapi juga melahirkan keyakinan yang utuh
kepada Allah. Semakin dia mengenal Allah kian luruh pula hatinya untuk bersujud
dan bermunajat hanya kepada-Nya.
Dengan bimbingan Zat Yang Maha Mendengar, Nabi Yunus lalu
tak henti merintih. Lirih. La Ilaha illa Anta. Subhanaka inniy kuntu min
azh-zhalimin (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha
Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk di antara orang-orang yang
berbuat aniaya). Apa-apa yang dimilikinya seketika lebur dalam deburan ombak di
tengah samudera. Tak ada yang bisa dibanggakan kecuali hanya memuji dan
bertasbih kepada Allah.
Amazing! The power of hope. Munajat dari dasar
samudera di dalam perut ikan itu ternyata mampu menggetarkan lapisan langit
yang bersusun-susun. Ternyata, harapan itu benar-benar ada.
Atas kehendak
Sang Pencipta, Nabi Yunus didamparkan kembali ke daratan. Dia kembali muncul di
tempatnya bertugas dulu. Melanjutkan misi dakwahnya, mengajak penduduk Ninawa
menegakkan tauhid, menyembah hanya kepada Allah semata.
Hal yang sama diperagakan dalam kisah hijrah Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Usaha-usaha yang diikhtiarkan
dan berbagai strategi yang diupayakan tak lantas menyilaukan Rasulullah. Bahkan
dengan jaminannya sebagai manusia terbaik yang bergaransi untuk selalu mendapat
bantuan dan pertolongan sekalipun. Nabi tetap saja memilih khusyuk berdoa
memohon pertolongan kepada Allah.
Beliau sadar, semua manusia boleh menggelar agenda dan
program yang dikehendakkan, tapi sebaik-baik makar ialah yang direncanakan oleh
Allah.
Inilah yang membedakan antara ilmu yang memberi harapan dan
manfaat dengan ilmu yang menjadikan manusia lalai untuk mengingat Allah.
Faktanya, tak sedikit orang yang tertipu dengan ilusi fatamorgana dari
sekelilingnya. Seolah dengan kecerdasan ilmu dan kehebatan akalnya, dengan
mudah ia bisa meraih segala yang dimimpikannya. Seolah karena mampu dan
berkuasa, maka ia tak perlu menengadahkan tangan dan membungkukkan badan di
hadapan-Nya.
Hikmah berikutnya, jika kondisi kritis tersebut di atas
masih saja menyelip harapan. Lalu mengapa kita kadang tak serius dalam berusaha
untuk satu kebaikan?
Mengapa kita masih sering ngambek hingga malas-malasan
berdoa? Hanya gara-gara sekali waktu pernah terbentur dengan kerikil kecil
dalam hidup. Atau hanya gara-gara merasa pintar dengan gelar ilmu yang
dipunyai.
0 komentar:
Posting Komentar