Lanjutkan Makan Sahur Saat dengar Adzan Shubuh, Boleh?
SEBAGIAN kaum Muslim memahami bahwasannya ketika adzan
shubuh berkumandang, sedangkan di saat yang sama, makanan atau minuman belum
habis dimakan untuk santap sahur, maka melanjutkankannya untuk tetap makan
tidak mengapa. Berpedoman kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
radhiyallallahu ‘anhu. Nah, bagaimana sebenarnya pemahaman para ulama terhadap
hadits tersebut?
Hadits yang dimaksud di sini adalah hadits:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم « إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ
فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ » رواه أبو داود, أحمد, الدارقطني,
الحاكم, البيهقي.
Artinya: Dari Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu ia
berkata,”Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,’Jika salah satu dari
kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana ada di tangannya, maka
hendaklah ia tidak meletakkannya, hingga ia menunaikan hajatnya dari bejana
itu.’” (Riwayat Abu Dawud, Ahmad, Ad Daraquthni, Al Hakim, Al Baihaqi)
Status Hadits
Para ulama telah menghukumi status hadits di atas. Di antara
mereka adalah Imam Al Hakim, di mana ia berkata menganai hadits Abu Hurairah
tersebut,”Ini adalah hadits shahih sesuai dengan syarat Muslim, dan keduanya
(Imam Al Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengeluarkannya. (Al Mustadrak, 1/ 320)
Imam Adz Dzahabi pun mengakui penshahihan Al Hakim tersebut,
di mana ia berkata,”Sesuai dengan syarat Muslim.” (At Talkhis, dalam Hasyiyah
Al Mustadrak, 1/320)
Imam As Suyuthi menshahihkannya, di mana Ash Shan’ani
pensyarah Al Jami’ Ash Shaghir karya Imam As Suyuthi berkata,”Dan penulis
menyimbulkan keshahihannya.” (At Tanwir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 2/96)
Pendapat Jumhur Ulama, yang Dimaksud Adzan adalah Adzan
Bilal (Adzan Pertama)
Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adzan di hadits
itu adalah adzan pertama, yakni adzan sebelum terbit fajar.
Imam Al Baihaqi, berkata saat mengomentari hadits Abu
Hurairah di atas,”Ini, jika shahih, maka ia ditafsiri bagi mayoritas ahlul
ilmi, bahwasannya seseungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
mengetahui bahwasannya muadzin pada waktu itu mengumandangan adzan sebelum
terbitnya fajar, di mana waktu minumnya sebelum terbitnya fajar. (As Sunan Al
Kubra, 4/218)
Mereka memilih menafsirkan adzan dalam hadits dengan adzan
pertama dengan berhujjah dengan hadits lainnya, yakni hadits Ibnu Mus’ud
radhiyallahu ‘anhu:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ :« لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ أَذَانُ
بِلاَلٍ مِنْ سُحُورِه، فَإِنَّمَا يُنَادِى لِيُوقِظَ نَائِمَكُمْ وَيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ
». رواه مسلم
Artinya: Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu dari
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, beliau bersabda,”Sekali-kali tidak
melarang seorang pun adzan Bilal dari sahurnya, sesunggunya ia menyeru untuk
membangunkan orang yang tidur dari kalian dan mengembalikan orang yang terjaga
dari kalian (kepada hajatnya). (Riwayat Muslim)
Imam An Nawawi juga menyampaikan pendapat Imam Al Baihaqi di
atas dalam menafsirkan makna hadits Abu Hurairah tersebut. (Al Majmu’ Syarh Al
Muhadzdzab, 6/31)
Imam Ar Rafi’i, sebagaimana dinukil oleh Al Munawi,
menyatakan,”Beliau (Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam) menghendaki
adzan Bilal yang pertama berdasarkan dalil bahwa sesungguhnya Bilal
mengumandangkan adzan di malam hari, maka makanlah dan minumlah kalian sampai
Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (Faidh Al Qadir, 1/ 484)
Al Khaththabi berkata mengenai hadits Abu Hurairah di
atas,”Aku berkata: Ini pada perkataannya (Nabi Muhammad Shallalahi Alaihi
Wasallam) bahwasannya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka makanlah
dan minumlah kalian, sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (Ma’alim
As Sunan, 1/371)
Al Munawi menafsirkan hadits Abu Hurairah di atas,”Yakni,
adzan Bilal pertama di pagi hari.” (At Taisir bi Syarh Al Jami’ Ash Shaghir,
1/210)
Syeikh Mahmud Al Khathtthab As Subki juga menafsirkan hadits
di atas,”Yang adzan awal di waktu shubuh, dia adalah adzan Bilal, sesungguhnya
ia mengumandangan adzan sebelum terbit fajar, untuk mengembalikan orang yang
bangun (kepada hajatnya) dan membangunkan orang yang tidur.” (Manhal Al `Adzb
Al Maurud, 10/73)
Syaikh Muhammad Al Banna As Sa’ati berkata dalam syarh
Musnad Ahmad, mengenai hadits Abu Hurairah di atas,”Dan jumhur (mayoritas)
menafsirkannya kepada adzan pertama, dia adalah adzan Bilal, di mana ia
mengumandangkan adzan waktu malam sebelum terbutnya fajar shadiq, untuk
mengembalikan orang yang bangun (kepada hajatnya) dan membangunkan orang yang
tidur.” (Al Fath Ar Rabbani, 10/23)
Penafsiran Lain: Hadits Ditujukan pada yang Ragu Datangnya
Fajar
Selain penafsiran jumhur ada pula dari para ulama yang
memiliki penafsiran lain, yakni bahwa hadits ditujukan kepada mereka yang ragu
apakah fajar telah terbit atau belum.
Al Khaththabi berkata, setelah menyebutkan penafsiran
bahwasannya adzan yang dimaksud adalah adzan Bilal,”Atau maknanya jika seorang
mendengar adzan, sedangkan ia ragu mengenainya datangnya shubuh, seperti saat
langit mendung, maka dengan adzan ia tidak mengetahui bahwa fajar telah
terbit karena ia mengetahu bahwa tanda-tanda fajar tidak ada. Kalau sekiranya
tanda-tanda itu nampak bagi muadzin, tentu nampak pula bagi dia. Adapun
jika ia tahu bahwa fajar telah terbit, maka ia tidak perlu dengan adzan yang
sharih, karena ia diperintahkan untuk menahan dari makanan dan minuman jika
terang baginya benang putih dari benang hitam fajar.” (Ma’alim As Sunan, 1/371)
Beberapa ulama pensyarah hadits juga menafsirkan hadits Abu
Hurairah seperti panafsiran Al Khaththabi di atas. Di antara mereka adalah Al
Munawi dalam Faidh Al Qadir (1/484).
Demikian pula Ash Shan`ani, di mana ia berkata,”Artinya,
jika ia mendengar adzan, sedangkan ia ragu terhadap datangnya shubuh. Telah
mengatakan Ad Darimi dan Al Mawardi, bahwasannya tidak diharamkan bagi orang
yang ragu-ragu untuk makan, dikarenakan firman Allah:
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَد (سورة البقرة الآية:187
Artinya: Sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang
hitam.” (Al Baqarah: 187) (At Takhyir, 6/289)
Ibnu Muflih Syamsuddin Al Maqdisi Al Hanbali juga
berpandapat,”Artinya, bahwa ia tidak yakin dengan terbitnya fajar.” (Al Furu’
wa Tashhih Al Furu`, 5/34)
Hal yang sama disampaikan oleh ِAbdurrahman An Najdi Al
Hanbali,”Artinya- Allahu A`lam-selama tidak tahu terbitnya fajar.” Kemudian ia
melanjutkan,”Adapun jika ia mengetahui menyebarnya waktu shubuh, maka
diharamkan secara kesepakatan.” (Hasyiyah Ar Raudh Al Murbi`, 3/431)
Pandangan Lain: Waktu Adzan Maghrib
Selain dua penafsiran di atas, ada pula yang menafsirkan
bahwasannya yang dimaskud adzan pada hadits Abu Hurairah di atas adalah adzan
maghrib.
Setelah menyampaikan mengenai penafsiran pihak jumhur ulama,
Al Munawi berkata,”Dan dikatakan bahwasannya artinya adalah adzan
maghrib. Jika seorang berpuasa, sedangkan bejana di tangannya, maka hendaklah
dia tidak meletakannya, akan tetapi ia berbuka sekaligus, dalam menjaga untuk
mensegerakan berbuka.” (Faidh Al Qadir, 1/484)
Kesimpulan
Walhasil, dari beberapa penafsiran ulama di atas, tidak ada
yang memberi penafsiran bahwasannya boleh makan dan minum secara mutlak, ketika
sudah mendengar adzan shubuh dikumandangkan. Karena pihak yang menafsiri bahwa
yang dimaksud adzan dalam hadits adalah adzan fajar berpendapat bahwasannya hal
itu boleh dilakukan oleh orang yang ragu, apakah waktu shubuh sudah masuk atau
belum. Namun jika sudah meyakini masuk waktu shubuh, namun tetap melakukan
makan minum, maka mereka pun berpendapat bahwasannya hal itu diharamkan.
Sedangkan penafsiran mayoritas ulama tidak menyatakan bahwa
adzan dalam hadits adalah adzan shubuh, namun adzan Bilal di malam hari.
Sedangkan penafsiran yang disampaikan Al Munawi menyatakan bahwasannya yang
dimaksud adzan dalam hadits adalah adzan maghrib.(*)
0 komentar:
Posting Komentar