Ramadhan dan Kepekaan Pemimpin
RAMADHAN secara logis dapat diibaratkan seperti sebuah
“bengkel” bagi kendaraan bermotor, di mana segala kerusakan dapat dideteksi dan
onderdil yang aus dapat segera diganti, sehingga keluar dari bengkel, kendaraan
ini siap tempur melibas segala medan dan menjelajah perjalanan sejauh apa pun
juga.
Jika mengacu pada ilustrasi tersebut, seharusnya dalam puasa
Ramadhan ini semua sisi dalam diri manusia, jiwa dan raga, benar-benar dapat
diperbaiki hingga kembali pada kondisi paling prima.
Dalam hal ini jika dia
sorang pemimpin atas dirinya dia akan berhenti dari berbuat maksiat dan
kerusakan. Jika dia pemimpin keluarga, ia akan menjadi teladan dalam ibadah,
kebaikan, dan beragam amal sholeh. Jika dia pemimpin masyarakat, dari RT hingga
Presiden, maka Ramadhan idealnya mengantarkan mereka memiliki tanggung jawab
sosial yang tinggi terhadap masyarakat yang dipimpinnya.
Hal ini dapat dirujuk dari hadits Nabi Muhammad ﷺ bahwa
puasa adalah rahasia Allah dengan hamba-Nya.
“Allah Ta’ala berfirman, semua amal perbuatan anak Adam
untuknya, kecuali puasa, maka itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan
membalasnya.” (HR. Bukhari Muslim).
Hadits Qudsi itu menerangkan bahwa puasa menghendaki
ketulusan iman, kejujuran jiwa, apakah diri benar-benar tunduk, patuh, dan
bersungguh-sungguh dalam ibadah kepada-Nya, membantu sesama, dan juga menebar
kebaikan dalam kehidupan. Jika puasa ternyata hanya menghilangkan lapar dan
dahaga, alias pindah jadwal makan, maka bukan itu yang menjadi target Ramadhan.
Dalam kata yang lain, Ramadhan memang idealnya mendorong
setiap pemimpin bergerak lebih gesit, berempati lebih tajam, dan peduli lebih
besar terhadap kondisi masyarakat yang dipimpinnya. Terlebih secara fisik,
mulai dapat dirasakan sendiri pengalaman diri menahan lapar dan haus. Keadaan
seperti itu adalah kondisi biasa bagi masyarakat yang penghasilannya tidak
tetap.
Meminjam klasifikasi Imam Al-Ghazali perihal tingkatan
puasa, seorang pemimpin harusnya tidak puasa seperti puasanya orang awam, yang
hanya menahan diri dari lapar dan haus.
Seorang pemimpin harus mampu menahan
diri dari nafsu keserakahan, nafsu kediktatoran, dan nafsu kezaliman dengan
lisan dan tandatangan yang akan menjadi kebijakan di tengah-tengah masyarakat.
Dalam hal ini kita perlu belajar dari sosok Nabi Yusuf
Alayhissalam. Dalam keadaan memimpin, memegang amanah dan kewenangan besar,
ternyata beliau melazimkan puasa atas dirinya dan membiasakan diri lapar. Tentu
bukan alasan diet agar tetap menawan kala tampil di depan publik, tetapi memang
karena sebuah tanggung jawab iman.
Ketika para pembantunya bertanya, “Mengapa Tuan
berlapar-lapar, sedangkan Tuan memegang gudang-gudang kekayaan bumi?”
Beliau menjawab, “Aku khawatir, jika aku kenyang, aku akan
melupakan orang lapar.”
Dengan kata lain, jika pemimpin puasanya benar, ia akan
semakin agresif dalam membantu rakyatnya yang kelaparan. Ia akan semakin
produktif dengan gagasan bahkan terobosan dan regulasi baru yang
mensejahterakan rakyatnya. Seperti Umar bin Khathab, sepanjang kepemimpinannya
tidak ada yang terjadi melainkan prestasi demi prestasi yang diberikan oleh
rakyat kepadanya, bahkan sejarah.
Jadi bukan penghargaan semu dari sebuah
institusi yang kerapkali menipu banyak pemimpin di dunia saat ini.
Gesit dan Bijaksana
Sungguh, sangat beruntung pemimpin yang mendapatkan nikmat
bertemu Ramadhan lantas ia menjelma menjadi sosok yang sabar, teguh pendirian
dan tidak mengutamakan, kecuali kepentingan rakyat.
Sebab, pada hakikatnya, puasa itu mampu mengubah tradisi dan
kebiasaan. Terlebih seperti sekarang, Ramadhan di tengah pandemi. Sebuah
keadaan yang jika benar disikapi akan mendorong diri lebih nikmat dalam ibadah,
lebih disiplin dalam menghadap kepada Allah, dan tentu saja lebih banyak waktu
memberikan keteladanan terhadap keluarga. Bahkan lebih jauh, lebih dituntut
untuk bisa membantu sesama yang terdampak wabah Covid-19.
Secara empiris, puasa memang melatih diri mengendalikan jiwa
dari niat, pikiran dan perilaku negatif. Puasa juga melatih diri tahan derita,
kuat kemauan, teguh, dan tahan uji (tahammul). Pada saat yang sama puasa juga
melatih kesabaran. Dan, menurut Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, puasa itu
seperempat keimanan.
Jika hal itu benar-benar bisa dilakukan, maka puasa akan
menjadikan seorang pemimpin memiliki ketajaman mata hati dan intuisi.
Ini bisa kita pelajari dari sosok Imam Syafi’i, ia
mengatakan bahwa dirinya tidak pernah makan kenyang selama enam belas tahun,
kecuali hanya sekali.
Alasannya jelas, makan kenyang memberatkan tubuh, mematikan
hati, melenyapkan kecerdasan, mendorong tidur, dan membuat malas beribadah.
Sekarang bayangkan, para pejabat atau pemimpin di negeri
ini, makannya seperti apa? Lantas, kalau dicek lebih jauh, sumbernya bagaimana?
Jika makan kenyang saja berdampak seperti itu, bagaimana jika ternyata lebih
dari sekedar makan kenyang?
Luqman Al-Hakim juga menasihatkan kepada putranya, “Anakku,
bila perutmu penuh, maka pikiranmu tidur, kebijaksanaanmu kelu, dan anggota
tubuhmu malas menjalankan ibadah.”
Dari sebuah untaian bijak yang singkat ini kita dapat
analisa, mengapa para wakil rakyat di DPR tidak banyak yang tergerak membela
rakyat dalam situasi seperti sekarang di bulan Ramadhan? Boleh jadi karena
memang lapar itu amat asing dalam kehidupan mereka.
Inilah momentumnya jika bangsa ini ingin lebih baik, para
pemimpin harus benar-benar menjadikan Ramadhan sebagai sarana melaparkan diri
untuk menajamkan hati, intuisi, kepekaan dan altruisme, sehingga gesit dalam
bertindak menjaga, melindungi dan menyejahterakan rakyat. Pada saat yang sama
perilaku dan tutur katanya penuh kebijaksanaan.
Kalau sudah seperti itu kelas pencapaian puasa Ramadhannya,
tenu saja para pemimpin tak perlu turun ke jalan, lempar bantuan kepada
masyarakat. Cukup ciptakan terobosan regulasi yang menjadikan kesejahteraan
pasca pandemi ini benar-benar dapat dibuktikan, sehingga negeri ini tidak perlu
gaduh karena ungkapan dan perilaku yang tak bermutu. Allahu a’lam.*
0 komentar:
Posting Komentar