Minggu, 03 Mei 2020

Ramadhan Dan Kepekaan Pemimpin

Ramadhan dan Kepekaan Pemimpin



RAMADHAN secara logis dapat diibaratkan seperti sebuah “bengkel” bagi kendaraan bermotor, di mana segala kerusakan dapat dideteksi dan onderdil yang aus dapat segera diganti, sehingga keluar dari bengkel, kendaraan ini siap tempur melibas segala medan dan menjelajah perjalanan sejauh apa pun juga.

Jika mengacu pada ilustrasi tersebut, seharusnya dalam puasa Ramadhan ini semua sisi dalam diri manusia, jiwa dan raga, benar-benar dapat diperbaiki hingga kembali pada kondisi paling prima. 

Dalam hal ini jika dia sorang pemimpin atas dirinya dia akan berhenti dari berbuat maksiat dan kerusakan. Jika dia pemimpin keluarga, ia akan menjadi teladan dalam ibadah, kebaikan, dan beragam amal sholeh. Jika dia pemimpin masyarakat, dari RT hingga Presiden, maka Ramadhan idealnya mengantarkan mereka memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi terhadap masyarakat yang dipimpinnya.

Hal ini dapat dirujuk dari hadits Nabi Muhammad ﷺ bahwa puasa adalah rahasia Allah dengan hamba-Nya.

“Allah Ta’ala berfirman, semua amal perbuatan anak Adam untuknya, kecuali puasa, maka itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari Muslim).

Hadits Qudsi itu menerangkan bahwa puasa menghendaki ketulusan iman, kejujuran jiwa, apakah diri benar-benar tunduk, patuh, dan bersungguh-sungguh dalam ibadah kepada-Nya, membantu sesama, dan juga menebar kebaikan dalam kehidupan. Jika puasa ternyata hanya menghilangkan lapar dan dahaga, alias pindah jadwal makan, maka bukan itu yang menjadi target Ramadhan.

Dalam kata yang lain, Ramadhan memang idealnya mendorong setiap pemimpin bergerak lebih gesit, berempati lebih tajam, dan peduli lebih besar terhadap kondisi masyarakat yang dipimpinnya. Terlebih secara fisik, mulai dapat dirasakan sendiri pengalaman diri menahan lapar dan haus. Keadaan seperti itu adalah kondisi biasa bagi masyarakat yang penghasilannya tidak tetap.

Meminjam klasifikasi Imam Al-Ghazali perihal tingkatan puasa, seorang pemimpin harusnya tidak puasa seperti puasanya orang awam, yang hanya menahan diri dari lapar dan haus. 

Seorang pemimpin harus mampu menahan diri dari nafsu keserakahan, nafsu kediktatoran, dan nafsu kezaliman dengan lisan dan tandatangan yang akan menjadi kebijakan di tengah-tengah masyarakat.

Dalam hal ini kita perlu belajar dari sosok Nabi Yusuf Alayhissalam. Dalam keadaan memimpin, memegang amanah dan kewenangan besar, ternyata beliau melazimkan puasa atas dirinya dan membiasakan diri lapar. Tentu bukan alasan diet agar tetap menawan kala tampil di depan publik, tetapi memang karena sebuah tanggung jawab iman.

Ketika para pembantunya bertanya, “Mengapa Tuan berlapar-lapar, sedangkan Tuan memegang gudang-gudang kekayaan bumi?”

Beliau menjawab, “Aku khawatir, jika aku kenyang, aku akan melupakan orang lapar.”

Dengan kata lain, jika pemimpin puasanya benar, ia akan semakin agresif dalam membantu rakyatnya yang kelaparan. Ia akan semakin produktif dengan gagasan bahkan terobosan dan regulasi baru yang mensejahterakan rakyatnya. Seperti Umar bin Khathab, sepanjang kepemimpinannya tidak ada yang terjadi melainkan prestasi demi prestasi yang diberikan oleh rakyat kepadanya, bahkan sejarah. 

Jadi bukan penghargaan semu dari sebuah institusi yang kerapkali menipu banyak pemimpin di dunia saat ini.

Gesit dan Bijaksana

Sungguh, sangat beruntung pemimpin yang mendapatkan nikmat bertemu Ramadhan lantas ia menjelma menjadi sosok yang sabar, teguh pendirian dan tidak mengutamakan, kecuali kepentingan rakyat.

Sebab, pada hakikatnya, puasa itu mampu mengubah tradisi dan kebiasaan. Terlebih seperti sekarang, Ramadhan di tengah pandemi. Sebuah keadaan yang jika benar disikapi akan mendorong diri lebih nikmat dalam ibadah, lebih disiplin dalam menghadap kepada Allah, dan tentu saja lebih banyak waktu memberikan keteladanan terhadap keluarga. Bahkan lebih jauh, lebih dituntut untuk bisa membantu sesama yang terdampak wabah Covid-19.

Secara empiris, puasa memang melatih diri mengendalikan jiwa dari niat, pikiran dan perilaku negatif. Puasa juga melatih diri tahan derita, kuat kemauan, teguh, dan tahan uji (tahammul). Pada saat yang sama puasa juga melatih kesabaran. Dan, menurut Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, puasa itu seperempat keimanan.

Jika hal itu benar-benar bisa dilakukan, maka puasa akan menjadikan seorang pemimpin memiliki ketajaman mata hati dan intuisi.

Ini bisa kita pelajari dari sosok Imam Syafi’i, ia mengatakan bahwa dirinya tidak pernah makan kenyang selama enam belas tahun, kecuali hanya sekali.

Alasannya jelas, makan kenyang memberatkan tubuh, mematikan hati, melenyapkan kecerdasan, mendorong tidur, dan membuat malas beribadah.

Sekarang bayangkan, para pejabat atau pemimpin di negeri ini, makannya seperti apa? Lantas, kalau dicek lebih jauh, sumbernya bagaimana? Jika makan kenyang saja berdampak seperti itu, bagaimana jika ternyata lebih dari sekedar makan kenyang?

Luqman Al-Hakim juga menasihatkan kepada putranya, “Anakku, bila perutmu penuh, maka pikiranmu tidur, kebijaksanaanmu kelu, dan anggota tubuhmu malas menjalankan ibadah.”

Dari sebuah untaian bijak yang singkat ini kita dapat analisa, mengapa para wakil rakyat di DPR tidak banyak yang tergerak membela rakyat dalam situasi seperti sekarang di bulan Ramadhan? Boleh jadi karena memang lapar itu amat asing dalam kehidupan mereka.

Inilah momentumnya jika bangsa ini ingin lebih baik, para pemimpin harus benar-benar menjadikan Ramadhan sebagai sarana melaparkan diri untuk menajamkan hati, intuisi, kepekaan dan altruisme, sehingga gesit dalam bertindak menjaga, melindungi dan menyejahterakan rakyat. Pada saat yang sama perilaku dan tutur katanya penuh kebijaksanaan.

Kalau sudah seperti itu kelas pencapaian puasa Ramadhannya, tenu saja para pemimpin tak perlu turun ke jalan, lempar bantuan kepada masyarakat. Cukup ciptakan terobosan regulasi yang menjadikan kesejahteraan pasca pandemi ini benar-benar dapat dibuktikan, sehingga negeri ini tidak perlu gaduh karena ungkapan dan perilaku yang tak bermutu. Allahu a’lam.*

#BMH Jatim Gerai Malang

0 komentar:

Posting Komentar