Ada Hikmah di Balik Kerinduan
Karena kerinduan itulah maka kaum Muslim tak pernah lepas
memanjatkan doa kepada AllahRasulullah SAW berkata, “Tha’un (wabah penyakit)
adalah azab yang Allah turunkan pada siapa saja yang Allah kehendaki. Namun
Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman,” (Riwayat Bukhari).
Syafiq, seorang remaja di pinggiran Jakarta, menangis tersedu-sedu
usai mengumandangkan azan Dzuhur di hari Jumat kedua setelah pemerintah
setempat tak memperbolehkan masjid menggelar shalat Jumat. “Ia sedih. Ia rindu
shalat berjamaah,” kata sang ibu menjelaskan mengapa anaknya menangis usai
azan.
Pak Manna, laki-laki tua di Kalimantan Timur, pada suatu
siang menatap masjid Ar Riyadh dari kejauhan dengan tatapan rindu. Masjid yang
selalu didatanginya setengah jam sebelum kumandang azan itu tak bisa ia dekati.
DKM masjid melarang jamaah yang telah berusia 50 tahun untuk sholat
bersama-sama di masjid karena imun tubuhnya lemah.
Kerinduan kepada masjid tentu banyak dirasakan oleh mereka
yang dekat dengan masjid, sebagaimana Syafiq dan Pak Manna. Rindu saat
mengangkat tangan bersama-sama seraya mengucapkan takbir, rindu saat sujud dan
rukuk bersama-sama, dan rindu saat-saat duduk berzikir dan berdoa sambil
menunggu iqomah dikumandangkan.
Karena kerinduan itulah maka kaum Muslim tak pernah lepas
memanjatkan doa kepada Allah Ta’ala, agar Sang Pemilik Kuasa segera mengakhiri
musibah ini. Doa yang terlantun di malam-malam buta sambil berurai air mata
penuh harap, melebihi harapan seorang anak kepada ibunya, atau seorang budak
kepada tuannya. Terasa begitu tak berdayanya manusia dan begitu besarnya kuasa
Allah Ta’ala.
Kerinduan itu justru mendekatkan kita kepada Sang Pemilik
Langit dan Bumi lewat lantunan doa yang penuh harap. Bahkan boleh jadi
hari-hari belakangan ini kita justru lebih dekat kepada Allah Ta’ala dibanding
hari-hari biasa. Nikmat apalagi yang melebihi kedekatan seorang hamba kepada
Rabb-nya?
Di Depok, Jawa Barat, seorang ketua RT menulis di dinding
facebooknya, “Salah satu hikmah dari musibah ini adalah terasa bahwa ngumpul
itu sebuah nikmat yang selama ini kurang kita syukuri.”
Bukan mereka tak pernah bertemu muka sebelumnya. Selama ini
mereka kerap berpapasan saat hendak shalat berjamaah di masjid. Tapi, pertemuan
itu berlangsung begitu saja. Hanya sepintas! Setelah itu mereka larut dengan
pekerjaan masing-masing. Hanya sekali-kali saja mereka berkumpul dan bersenda
gurau.
Wajar bila wabah ini telah memupuk kerinduan mereka untuk
kembali bertemu, berjabat tangan, saling memeluk erat, dan bersenda gurau.
Wabah ini rupanya telah menyadarkan mereka akan kenikmatan bersilaturahim.
Seringkali kenikmatan itu baru amat terasa apabila ia telah dicabut oleh Allah.
Begitulah Allah Ta’ala mengajarkan kepada kita bahwa segala
ketentuan-Nya tak ada yang sia-sia bagi orang yang beriman. Berdiamnya orang
beriman di rumah karena wabah, akan diganjar oleh Allah Ta’ala pahala sebagaimana
pahala orang yang mati syahid meskipun ia sebetulnya tidak meninggal dunia.
Andai pun ia terkena wabah tersebut, lalu lewat perantaraan
itu Allah Ta’ala mencabut nyawanya, maka kematiannya pun tak sia-sia. Allah
juga menganugerahinya pahala sebagaimana pahala orang yang mati syahid.
Rasulullah SAW berkata, “Tidaklah seorang hamba berada di
suatu negeri yang terjangkit wabah di dalamnya, lantas ia tetap di dalamnya,
tidak keluar dari negeri tersebut, lalu bersabar dan mengharapkan pahala dari
Allah, ia tahu bahwa tidaklah wabah itu terkena melainkan dengan takdir Allah,
maka ia akan mendapatkan pahala syahid.” (Riwayat Bukhari). *
0 komentar:
Posting Komentar