Inilah Delapan Perkara yang Membatalkan Puasa
#BMH Jatim Gerai Malang
HAMPIR seluruh umat Islam memahami bahwa ibadah puasa itu menyehatkan. Di dalam kitab Maqashid al-Shaum yang ditulis oleh Sulthan al-Ulama ‘Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam halaman 17, dijelaskan bahwa rahasia atau manfaat puasa adalah menyelamatkan tubuh dari berbagai penyakit dan ampuh untuk menentramkan jiwa serta pikiran. Artinya puasa itu menyehatkan jasmani dan rohani. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
“Berpuasalah kalian, niscaya kalian akan sehat.” (HR. Abi
Nu’aim)
Jadi puasa tersebut merupakan ibadah yang memiliki ikatan
erat dengan kesehatan badan dan pikiran. Karena di dalam pelaksanaan puasa
tersimpan kesehatan untuk tubuh jasmani sekaligus akal pikiran, menariknya
puasa juga merupakan vitamin untuk hati sebagaimana makanan memberikan vitamin
kepada tubuh. (Lihat: al-Taisir bi Syarah al-Jami’ al-Shaghir karya
al-Imam al-Hafidz Zainuddin Abdurro’uf al-Manawy, juz 2. Hlm.187)
Oleh sebab itu, sebaiknya umat Islam juga harus
memahami hal yang bisa menyebabkan puasa itu menjadi batal. Adapun yang
membatalkan puasa ada dua pembagian.
Pertama, perkara yang menghapus pahala puasa, sementara
ia tidak membatalkan puasa dan tidak wajib mengqodho. Pembagian ini disebut
dengan al-Muhbithat. Kedua, perkara yang membatalkan puasa sekaligus
menghapus pahalanya, dan wajib mengqodho puasa tersebut. Pembagian ini disebut
dengan al-Mufatthirat. (Lihat: al-Taqrirat al-Sadidat fi al-Masa’il
al-Mufidat ditulis oleh al-Habib Hasan bin Muhammad al-Kaf, hlm.448).
Pada kesempatan ini penulis fokus terhadap
perkara-perkara al-Mufatthirat. Adapun hal yang membatalkan puasa tersebut
ada delapan perkara, di antaranya:
Pertama, al-Riddah yaitu keluar dari agama Islam
dengan cara berniat untuk murtad atau melalui perkataan, dan perbuatan.
Kemudian jika ia keluar dari agama Islam dalam waktu yang sebentar, lalu masuk
Islam kembali. Maka puasanya tetap batal dan ia wajib mengqodho puasa tersebut.
(Lihat: al-Taqrirat al-Sadidat fi al-Masa’il al-Mufidat ditulis oleh al-Habib
Hasan bin Muhammad al-Kaf, hlm.449).
Kedua, haid, nifas, wiladah sekalipun hanya sebentar di
siang Ramadhan. Artinya jika seorang perempuan haid, nifas, atau wiladah pada
siang Ramadhan, maka puasanya menjadi batal dan wajib mengqodhonya.
(Lihat: Umdat al-Salik wa Uddat al-Nasik ditulis oleh Syihabuddin Abi
al-Abbas Ahmad bin al-Naqib, hlm.166).
Ketiga, apabila gila (al-Junun) di siang Ramadhan walaupun
sebentar. Artinya seorang yang yang menjadi gila di siang Ramadhan, maka
puasanya batal dan ia tidak wajib membayar fidiyah dan juga tidak wajib
mengqodhonya dengan syarat penyakit gila tersebut tidak disengaja.
(Lihat: Nail al-Raja’ ditulis oleh al-Sayyid Ahmad bin Umar
al-Syathiry, hlm,286).
Keempat, pingsan (ayan) atau mabuk selama siang Ramadhan.
Lihat: Anwar al-Masalik, ditulis oleh Syekh Muhammad al-Zuhry al-Ghumrawi,
hlm.166. Namun jika seandainya pingsan (ayan) atau mabuk setengah hari saja
atau hanya sebentar, maka tidak membatalkan puasa. (Lihat: Mandzumah
al-Zubad ditulis oleh Ibnu Ruslan, hlm.21). Lebih detail lagi Ibn Hajar
menjelaskan mabuk atau pingsan (ayan) tersebut membatalkan puasa, apabila
disengaja sekalipun hanya sebentar. Dan wajib mengganti puasa tersebut pada
selain bulan Ramadhan.
Kelima, berhubungan suami istri (jima’) pada siang hari
Ramadhan dengan sengaja, pilihan, dan tahu bahwa perkara tersebut diharamkan.
(Lihat: Busyrah al-Karim bi Syarh Masa’il al-Ta’lim ditulis oleh
Sa’id bin Muhammad Ba ’Ali Ba’asyan al-Hadrami, hlm.548).
Adapun sanksi bagi seseorang yang membatalkan puasanya
dengan berjima’ adalah.
Pertama, mendapatka dosa. Kedua, wajib menahan (imsak)
di siang Ramadhan ketika itu, sebagaimana orang yang berpuasa. Ketiga,
apabila ia tidak bertaubat, maka hakim wajib menta’zirnya sebagai
pelajaran. Keempat, wajib mengganti puasa tersebut. Kelima, wajib
membayar kaffarah khusus bagi lelakinya saja. Dalam hal
membayar kaffarah ini, tidak dibolehkan melaksanakan tingkatan kaffarah yang
ketiga, kecuali memang tidak sanggup
melaksanakan kaffarah yang
kedua. (Lihat: Fath al-Mu’in ditulis oleh Zainuddin Ahmad bin Abdul
‘Aziz al-Malibary, hlm 270).
Adapun kaffarah-nya adalah memerdekakan hamba sahaya
perempuan yang beriman, bebas dari cacat yang mengganggu kinerjanya. Dan
apabila budaknya tidak ada, maka boleh melakukan tingkat yang selanjutnya,
yaitu. Puasa dua bulan secara berturut-turut, artinya jika berselang satu hari
saja tidak berpuasa, maka dihitung lagi dari awal puasanya. Seseorang tidak
boleh melakukan perkara yang ketiga, kecuali memang benar-benar tidak sanggup
melakukan puasa dua bulan berturut-turut.
Adapun kaffaroh tingkat ketiga adalah
memberi makan 60 orang miskin sebanyak satu mud Nabi Muhammad ﷺ (0,6kg).
(Lihat, Mukhtashar al-Muzani ditulis oleh Abu Ibrahim al-Muzani, juz
8, hlm.103).
Namun apabila tidak sanggup memberi makan 60 orang miskin
satu mud, maka tetap wajib bagi seseorang tersebut sampai dia mampu.
(Lihat: Anwar al-Masalik, ditulis oleh Syekh Muhammad al-Zuhry
al-Ghumrawi, hlm.165).
Keenam, ada sesuatu yang masuk dari lubang yang terbuka ke
dalam rongga (wushul ‘ain min manfdz maftuh ila al-jauf), seperti memasukkan
makanan ke dalam mulut atau minum air.
Ketujuh, al-Istimna’ yaitu mengeluarkan air mani
atau sperma dengan sengaja. Adapun jika air mani keluar tanpa disengaja seperti
mimpi junub di siang Ramadhan, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa.
(Lihat: Raudha al-Thalibin wa Umdah al-Muftin ditulis oleh Imam
Nawawi, juz, 2 hlm, 321-322).
Kemudian hukum mencium istri tatkala puasa
fardhu, hal tersebut dimakruhkan apabila tidak bersyahwat. Namun apabila ia
mencium istrinya dengan syahwat, maka hal tersebut tidak diperbolehkan dan
puasanya batal apabila ia inzal (mani keluar) tatkala mencium istri.
(Lihat: al-Taqrirat al-Sadidat fi al-Masa’il al-Mufidat ditulis oleh
al-Habib Hasan bin Muhammad al-Kaf, hlm.455).
Kedelapan, al-Istiqo’ah yaitu muntah dengan cara disengaja.
Muntah adalah makanan yang keluar kembali setelah masuk melewati tenggorokan
dan tetap dinamakan muntah sekalipun yang keluar tersebut adalah air atau
bentuk makanan yang keluar tersebut tidak berubah rasa dan warnanya.
Maka orang
yang melakukan hal tersebut (muntah dengan sengaja) puasanya menjadi
batal, sekalipun muntahnya hanya sedikit. Kemudian apabila seseorang yang
muntah tanpa disengaja, seperti karena perjalanan jauh naik kapal atau mobil
yang menyebabkan ia muntah, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa, karena
tidak disengaja. (Lihat juga: Mughni al-Muhtaj ditulis oleh
Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khatib al-Syarbini al-Syafi’i, juz 2,
hlm.154).
Kemudian hal yang harus dilakukan oleh orang yang muntah
adalah membersihkan mulutnya, karena ia terkontaminasi oleh najis (mutanajjis).
Adapun caranya adalah dengan berkumur-kumur hingga sampai ke pangkal
tenggorokannya. Namun apabila tanpa disengaja tetelan air kumur-kumurnya
tersebut, maka puasanya tidak batal.
Karena mensucikan najis merupakan hal yang
diperintahkan (ma’mur). (Lihat: al-Taqrirat al-Sadidat fi al-Masa’il
al-Mufidat ditulis oleh al-Habib Hasan bin Muhammad al-Kaf, hlm.455).
Delapan perkara di atas merupakan hal yang membatalkan puasa
(mufatthirat), ketika salah satu dari yang delapan perkara tersebut dilakukan
oleh seseorang, maka puasanya dihukumi batal.
Semoga puasa Ramadhan umat Islam pada tahun ini diberi
kemudahan dan kesehatan serta kelancaran dalam menjalankan ibadah-ibadah wajib
maupun sunnah untuk meraih derajat al-Muttaqin di sisi Allah
SWT. Amin yaa Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lam.*
0 komentar:
Posting Komentar